Assalamu Alaikum Wr.Wb. dan Salam Sejahtera....Selamat Datang di LM3 Model GMIM NAFIRI Manado dan P4S PELANGI Manado, Sulawesi Utara....Solusi Indonesia Hijau ..... Hijaukan Indonesia dengan Pertanian Terpadu Bebas Sampah .... Indonesia Integrated Farming Zero Waste...STOP GLOBAL WARMING

Info dari Situs LEKADnews Jakarta

LEKAD SEBAGAI LEMBAGA YANG TELAH BERPENGALAMAN DALAM KAJIAN, FASILITASI, PUBLIKASI DAN PELATIHAN DIBIDANG KERJASAMA DAERAH SEJAK 2005 MENAWARKAN PELATIHAN PEDOMAN DASAR PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN KERJASAMA ANTAR DAERAH KEWILAYAHAN. PELATIHAN INI AKAN DISELENGGARAKANA PADA: HARI RABU S/D JUMAT 27-29 APRIL 2011, BERTEMPAT DI GRAHA WISATA KUNINGAN, JL. H.R RASUNA SAID KUNINGAN, JAKARTA_ INFO SILAKAN KONTAK WILDA (081314246402) ATAU H.ASRUL HOESEIN (085215497331) TERIMA KASIH.

Jumat, 13 November 2009

Hijaukan Indonesia Sambil Berinvestasi


Teknik Penyemaian Jati Super
[Hijaukan Indonesia Sambil Berinvestasi]


by: Asrul Hoesein > Pendiri Gerakan Indonesia Hijau


Pada umumnya orang beranggapan bahwa menyemai biji jati dilakukan seperti biji tumbuhan biji lainnya. Cukup dengan membenamkan biji ke dalam tanah langsung tumbuh. Padahal menyemai biji jati tidak semudah itu. Artinya dibutuhkan teknik-teknik khusus. Berikut langkah-langkah penumbuhan atau penyemaiannya:

  1. Pertama biji jati dijemur selama 1-4 hari. Setelah itu, biji jati direndam dalam air selama 3 hari berturut-turut. Kemudian ditiriskan dan dijemur matahari selama sehari dan sorenya bisa di semai pada media yang telah disiapkan.
  2. Penyiapan media penyemaian. Untuk biji jati super 1 kilo dibutuhkan media penyemaian yang panjangnya kurang lebih 1 meter dan lebar 70 cm. Jadi kalau 10 kg panjang lahannya 10 meter dan lebar 70 cm.
  3. Selanjutnya masukan tanah yang sudah dicampur dengan kompos ke m edia penyemaian tadi dengan ketebalan tanah maksimal 10 cm dan letakan biji jati tadi diatas tanah tersebut. Setelah itu, dilapisi dengan pasir setebal kira-5-10 cm. Pasir ini berguna untuk memanaskan biji jati.
  4. Kemudian ditutup dengan plastik transparan yang tingginya 70-80. Namun sebelum ditutup plastik, terlebih dahulu dibuat kerangka melengkung dari bambu berbentuk setengah lingkaran (atau seperti keranda jenazah). Penutup plastik harus dibentuk seperti ini, supaya terjadi penguapan yang dapat membantu proses pembakaran biji jati sehingga didalamnya terdapat embun. Jangan lupa disiram setiap 3-4 kali seminggu. Cara menyiramnya usahakan dari samping untuk mempertahankan uap yang didalamnya.
  5. Dalam waktu kurang lebih dari 3 minggu biji jati sudah mulai tumbuh dan menjadi kecambah. Pada saat bibit jati tingginya 3 - 5 cm segera pindahkan ke polibek. Guna menghindari terputusnya akar bibit jati super maka media penyemaian tadi disiram air yang banyak sampai memudahkan pencabutan bibit jati super yang baru tumbuh. Jangan lupa… Polibeknya juga disiram air supaya keduanya sama-sama basah. Dengan begitu, bibit jati dapat menyesuaikan diri ditempat yang baru (polybeg). Meskipun sudah biji jati sudah tumbuh, usahakan tetap ditutup dengan plastik transparan. Sebab tidak menutup kemungkinan masih ada biji jati lain yang akan tumbuh.











Selamat Berinvestasi Jati Super.............Hijaukan Indonesia.

Manado, 12 November 2009

Info sekaitan atau Bibit Jati Bersertifikat.

Hub> +6285215497331, +628124424964


Semoga Sukses

PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU BERBASIS MASYARAKAT



PENGELOLAAN SAMPAH TERPADU BERBASIS MASYARAKAT (Pola Se-Desentralisasi)


Pola se-Desentralisasi tersebut pada bulan november kami melalui LM3 Nafiri Manado telah usulkan dan ajukan konsep tersebut (termasuk program aksinya) kepada pemerintah Provinsi/Kab/Kota di Sulawesi Utara, dengan harapan Pola Open Dumping (sisa target 8 Tahun ke depan) Harus ditinggalkan sebagaimana amanat UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (Asrul Hoesein>Pendiri Gerakan Indonesia Hijau, Konsultan LM3 Nafiri Manado, Sulawesi Utara)

Kabinet Indonesia Bersatu jilid I (SBY-JK) telah menghasilkan Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, mengamanatkan kepada kita untuk mengelola sampah di tingkat hulu>produsen sampah (masyarakat, kawasan industri, dll) Namun hal ini perlu dipertegas dengan mengeluarkan atau merevisi perda di masing-masing kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Diharapkan Kabinet Indonesia Bersatu jilid II (SBY-Budiono) persegera merealisir dengan “tegas dan bijak” tentang masalah ini. Untuk selanjutnya merancang perundangan tentang pe-LABEL-an produk pertanian organik, demi suksesnya Indonesia Go Organik 2010.


Perubahan Paradigma Tentang Sampah


Di sekitar, banyak sekali sampah atau limbah yang bisa dioptimalkan. Dari hal yang paling kecil seperti kertas bekas, keleng susu, bekas oli mobil, kotoran sapi/kerbau hingga sampah rumah tangga. Limbah bisa disulap menjadi sebuah bisnis baik yang berskala kecil maupun besar, dari UKM hingga manufaktur, misalnya industri/daur ulang limbah plastik menjadi produk plastik film grade dan non-film grade, dll.


Namun, kenapa hingga saat ini sampah masih menjadi masalah serius ? terkhusus di berbagai kota besar, misalnya Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Makassar, serta kota-kota lainnya di Indonesia. Sekedar catatan, minggu lalu penulis berkunjung ke Provinsi Sulawesi Utara, mengikuti pameran serta mengadakan presentasi hal pengelolaan sampah basis komunal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara c/q Dinas Pertanian dan Peternakan serta TP PKK Sulawesi Utara. Sempat ke beberapa kabupaten/kota antara lain Kota Manado, Kota Bitung, Kab. Minahasa Utara, Kota Kotamobagu, Kota Tomohon, serta Kab. Minahasa, khusus di Kab. Tondano dimana disana terdapat Danau Tondano (+ 4.600 Ha) yang berpotensi atau tumbuh dengan suburnya tumbuhan air berupa Enceng Gondok (eichhornia crassipes) namun kelihatannya disana tumbuhan tersebut menjadi “masalah”, padahal itu merupakan “berkah” tersendiri bagi Kab. Minahasa khususnya serta Provinsi Sulawesi Utara pada umumnya karena Enceng Gondok tersebut dapat dimanfaatkan menjadi pupuk organik padat dan cair serta bisa diolah menjadi produk consumer goods, handycraft, biogas dan lain sebagainya.


Beberapa kendala yang dihadapi dalam memecahkan masalah sampah atau limbah ini antara lain disinyalir karena :

  1. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam menciptakan kebersihan lingkungan yang bernilai plus (punya nilai atau motivasi ekonomi dan kesehatan). Hal ini terlihat dari kebiasaan membuang sampah yang tidak pada tempatnya.
  2. Perlu keterlibatan langsung (proaktif) masyarakat dalam pengelolaan sampah dengan membuka peluang usaha untuk bidang ini (mempunyai nilai ekonomi plus), karena tanpa motivasi ekonomi dan kesehatan, sampah tetap akan menjadi sampah, bukan menjadi bahan baku industri yang bernilai tinggi.
  3. Persepsi masyarakat tentang penanganan sampah masih tertumpu pada pemerintah, padahal masalah kebersihan adalah tanggung jawab bersama antara masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah perlu membuat tim work penanganan ini dengan melibatkan langsung masyarakat didalamnya, akhirnya tercipta kelompok usaha basis komunal di masyarakat itu sendiri.
  4. Terbatasnya lahan untuk pengumpulan dan pembuangan sampah akhir, serta terbatasnya dana transportasi sampah. Sementara tumpukan sampah meningkat dari hari ke hari. Mengantisipasi hal ini diperlukan sebuah program pengelolaan sampah basis TPS/Komunal, tanpa itu mustahil teratasi.


Mengelola sampah pada dasarnya membutuhkan peran aktif dari masyarakat (basis komunal system) terutama dalam mengurangi jumlah timbulan sampah, memilah jenis sampah hingga berupaya menjadikan sampah menjadi lebih bermanfaat. Hal ini telah banyak dilakukan diberbagai negara yang telah maju dan berhasil. Keberhasilan ini didukung dengan adanya kampanye yang disosialisasikan oleh pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat antara lain melalui konsep 3 R (Reduce, Reuse dan Recycle), yaitu mengurangi timbulan sampah, menggunakan kembali bahan yang berpotensi menimbulkan sampah dan mendaur ulang sampah baik sampah organik (sisa makanan, sayuran, buah-buahan atau hijauan lainnya) jenis sampah ini dapat di produksi (basis komunal>home industri) menjadi pupuk organik padat dan cair secara manual maupun menggunakan komposter atau peralatan lainnya sementara sampah non organik (potongan kaca, kertas, logam, plastik, karet dan bahan non organik lainnya), misalnya sampah plastik dapat di produksi, pada umumnya terbagi menjadi 2 kelompok plastik daur ulang, yaitu: kelompok film grade dan non-film grade seperti sampah plastik lembaran kemasan makanan (kantong gula, tepung, dan lain-lain), kantong belanja (kresek), kantong sampah, pembungkus tekstil, tas, garmen, pembungkus rokok, pembungkus baju/kaos, karung plastik, dan lain-lain. Untuk non-film grade ada botol air mineral, juice, saos, minyak goreng, kosmetik, shampoo, oli, tutup botol, krat botol, ember, mainan, tong sampah, container, pipa PVC, kabel listrik, selang air, plastik gelombang, dan lain-lain.


Perlu perubahan paradigma tentang Sampah, bahwa sampah itu berkah atau sebuah peluang usaha, bukan masalah yang perlu dirisaukan, sepanjang dikelolah secara bijaksana.


Penanganan Sampah Konvensional


Selama ini tahapan penanganan sampah yang ada dimulai dari pengumpulan sampah pada tingkat rumah tangga, kemudian diangkut ke tempat pembuangan sampah tingkat RW dan kelurahan atau yang umum dikenal dengan nama Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS), hingga akhirnya diangkut oleh Dinas Kebersihan kota ke Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA). Bila dilihat dari mata rantai pembuangan sampah tersebut, nampaklah beban TPA amat berat mengingat harus menampung sampah yang ada dari seluruh bagian kota. Hal inilah yang dirasakan menjadi masalah oleh kebanyakan kota besar di Indonesia, Khusus untuk penanganan sampah, berdasarkan informasi dari Dinas Kebersihan diketahui bahwa dari tahun ke tahun biaya yang dibutuhkan untuk penyediaan sarana transportasi (gerobak/motor sampah,truk sampah dan loader/buldozer) dan lahan tempat pembuangan sampah (baik TPS dan TPA) makin meningkat sementara alokasinya masih terbatas.

Oleh karena itu, penulis memberi konsep “Bersih Mandiri” dengan beberapa strategi, yaitu : Meminimalkan/memilah sampah dari sumbernya; mendaur ulang dan pembuatan kompos/pupuk organik padat dan cair dan produk lainnya; meningkatkan pelayanan pengangkutan sampah serta penanganan sampah di tempat pembuangan akhir sampah dengan cara yang akrab/ramah lingkungan dengan mendirikan IPSK (Instalasi Pengolahan Sampah Kota) sampah organik dan non organik, serta mendirikan IPSO (Instalasi Pengolahan Sampah Organik) basis komunal di TPS dan Pasar Tradisional.

Berpijak dari kondisi yang ada, untuk memecahkan masalah sampah harus melihat pola penanganan yang ada saat ini. Dengan demikian pada titik mana dari mata rantai pembuangan sampah tersebut dapat dilakukan perbaikan dan penyempurnaan sehingga sampah yang masuk ke TPA pada akhirnya hanya berupa sampah yang benar-benar tidak dapat diolah kembali.


Penanganan Sampah dengan Peran Aktif Masyarakat


Masalah sampah di berbagai kota besar di Indonesia sebetulnya dapat dipecahkan dengan baik sebagaimana yang berhasil dilakukan di negara maju apabila peran aktif masyarakat meningkat. Pada umumnya proses pengelolaan sampah dengan basis partisipasi aktif masyarakat terdiri dari beberapa tahapan proses, antara lain :

  1. Mengupayakan agar sampah dikelola, dipilah dan diproses tahap awal mulai dari tempat timbulan sampah itu sendiri (dalam hal ini mayoritas adalah lingkungan rumah tangga). Upaya ini setidaknya dapat mengurangi timbulan sampah yang harus dikumpulkan dan diangkut ke TPS sehingga bebannya menjadi berkurang.
  2. Pada fase awal di tingkat rumah tangga setidaknya diupayakan untuk mengolah sampah organik menjadi kompos dan sampah non organik dipilah serta mengumpulkan menurut jenisnya sehingga memungkinkan untuk di daur ulang. Sampah organik sebenarnya telah dapat diproses menjadi kompos di setiap rumah tangga pada tong-tong sampah khusus kompos (Komposter BioPhoskko) yang mampu memproses sampah menjadi kompos untuk periode tampung antara 5 hingga 7 hari dengan bantuan aktivator (mikroba pengurai) dan Bulking Agent. Bila proses pengomposan di tiap rumah tangga belum mungkin dilakukan, selanjutnya petugas sampah mengangkut sampah yang telah terpilah ke tempat pembuangan sampah sementara untuk diproses. Hasil pengamatan di beberapa tempat pembuangan sampah atau TPS di beberapa bagian kota diketahui bahwa masing-masing sampah non organik sangat memiliki nilai ekonomi.
  3. Pewadahan dan pengumpulan dari wadah tempat timbulan sampah sisa yang sudah dipilah ke tempat pemindahan sementara. Pada tahapan ini beban kerja petugas pembuangan sampah menjadi lebih ringan.
  4. Pengangkutan ke tempat pembuangan atau ke tempat pengolahan sampah terpadu. Pada tahapan ini diperlukan kotak penampungan sampah dan gerobak pengangkut sampah yang sudah dipilah.
  5. Tahapan selanjutnya adalah pengolahan sampah yang tidak memungkinkan untuk diolah di setiap lingkungan rumah tangga di TPS. Tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang ada dengan menggunakan pendekatan ini kemudian diubah fungsinya menjadi semacam pabrik pengolahan sampah terpadu, yang produk hasil olahnya adalah kompos, bahan daur ulang dan sampah yang tidak dapat diolah lagi.
  6. Tahapan akhir adalah pengangkutan sisa akhir sampah, sampah yang tidak dapat didaur ulang atau tidak dapat dimanfaatkan lagi ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Pada fase ini barulah proses penimbunan atau pembakaran sampah akhir dapat dilakukan dengan menggunakan incinerator, sekitar 5-10 % sampah yang tdk dapat di daur ulang.


Berdasarkan tahapan proses di atas kunci penanganan sampah berbasis masyarakat (komunal) ini sebenarnya terletak pada rantai proses di tingkat rumah tangga dan di tingkat kelurahan/desa (yaitu di tempat pembuangan sampah sementara atau TPS). Yang melibatkan langsung masyarakat sebagai pengelola plus (pemilik home industri). Tanpa system komunal ini mustahil sampah dapat diatasi dengan tuntas. Cara penanganan seperti ini sebenarnya bertujuan untuk :

  1. Membudayakan cara pembuangan sampah yang baik mulai dari lingkungan rumah hingga ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dengan menggunakan kantong / box sampah dan gerobak sampah terpisah antara sampah organik dan non organik.
  2. Menata tempat pembuangan sampah (TPS) menjadi pusat pemanfaatan sampah organik dan non-organik secara maksimal sampah organik diolah menjadi kompos.
  3. Menjadikan sampah non organik menjadi bahan baku untuk diolah menjadi bahan daur ulang (kertas, kaca, plastik dsb.) atau produk consumer goods, handycraft, biogas dan sebagainya.
  4. Memotong mata rantai distribusi sampah dari TPS ke TPA, karena sampah (khususnya sampah organik) habis di olah di TPS.

Implementasi model ini tergantung dari sikap masyarakat dalam memperlakukan sampah. Semakin sadar masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan akan semakin mudah proses ini dapat dilaksanakan. Untuk itu peran pemerintah, LSM serta peran dunia usaha dalam mensosialisasikan hal ini serta dan harus didukung dengan penerapan peraturan perundangundangan tentang lingkungan serta penerapan perundangundangan tentang pengelolaan sampah diserta peraturan daerah (Perda) yang lebih tegas, pada akhirnya akan menentukan keberhasilan dalam penanggulangan masalah sampah khususnya di perkotaan, serta mensukseskan pembangunan pertanian organik Indonesia, sistem pertanian yang berkelanjutan (agro sustainable system). Sukses Indonesia Go Organik 2010.



H.Asrul Hoesein

Pemerhati Masalah Lingkungan/Sampah

Konsultan Pendamping LM3 Nafiri Manado, Sulawesi Utara

Contak Person > 085215497331

Mendorong tumbuhnya Lembaga Mandiri


Mendorong tumbuhnya Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat sebagai Embrio Pembentukan inti kawasan agribisnis

Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) merupakan lembaga mandiri yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kegiatan meningkatkan gerakan moral melalui kegiatan pendidikan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Termasuk dalam kategori LM3 antara lain Pondok Pesantren, Seminari, Paroki dan Gereja, Pasraman, Vihara, Subak dll.

embaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat (LM3) merupakan lembaga mandiri yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kegiatan meningkatkan gerakan moral melalui kegiatan pendidikan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Termasuk dalam kategori LM3 antara lain Pondok Pesantren, Seminari, Paroki dan Gereja, Pasraman, Vihara, Subak dll.


Sejarah Penanganan LM3

Sejarah sentuhan Departemen Pertanian terhadap LM3 berawal pada tahun 1991 dengan diterbitkannya Surat Keputusan Bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agama No. 346/1991 dan No. 94/1991. Mulanya LM3 yang difasilitasi adalah lembaga-lembaga Pondok Pesantren, dengan sasaran berkembangnya usaha agribisnis di masing-masing pondok pesantren. Tujuan pengembangan agribisnis di pondok pesantren selama ini adalah (1) untuk memperkuat basis ekonomi pondok pesantren dalam rangka menjalankan visi dan misinya di bidang pendidikan dan pembinaan akhlak bagi para santri serta masyarakat di sekitarnya, dan (2) meningkatkan peran pondok pesantren dalam pembangunan pertanian melalui pengembangan agribisnis di pondok pesantren.

Pembinaan LM3 oleh Departemen Pertanian lebih dikembangkan lagi sejak tahun 1997, yaitu dengan diterbitkannya Surat Menteri Dalam Negeri No. 412.25/1141/PMD tangal 21 Oktober 1996 dan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 555/Kpts/OT.210/6/97 serta Surat Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian No. RC.220/720/B/VI/1998 tentang Pengembangan Agribisnis LM3.


Fasilitasi LM3 tahun 2006

Pada tahun 2006 ini, melalui SK Menteri Pertanian No. 468/Kpts/KU.210/8/2006 fasilitasi pengembangan agribisnis melalui LM3 akan dilakukan pada 338 LM3 yang tersebar di seluruh provinsi. Dari jumlah tersebut sebanyak 36 LM3 akan dikembangkan sebagai LM3 model. Bidang usaha yang dikembangkan meliputi semua subsektor yaitu tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perkebunan, dengan kegiatan mulai dari budidaya, pasca panen dan pengolahan hingga pemasaran hasil. Total dana adalah sebesar Rp 100,9 M yang disalurkan melalui 11 (sebelas) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yaitu 3 KPA di Pusat (Ditjen Perkebunan, Ditjen PPHP dan Badan Pengembangan SDM Pertanian) serta 8 KPA di Daerah yaitu pada Balai Besar/Balai Diklat Agribisnis di 8 lokasi. Pedoman pengajuan dan penyaluran dana penguatan modal usaha agribisnis kepada LM3 tersebut adalah seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 282/Kpts/KU.21/4/2006.


Sebagai Embrio Pembentukan Inti Kawasan Agribisnis

Sesuai Pedoman Umum Pemberdayaan dan Pengembangan Usaha Agribisnis LM3 tahun 2006 yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian, tujuan pemberdayaan pengembangan usaha agribisnis LM3 adalah Meningkatkan kemampuan dan kemandirian LM3 dalam pengelolaan usaha agribisnis; Mengembangkan kelembagaan ekonomi LM3 seperti koperasi dan lembaga keuangan mikro (LKM), dan Memfungsikan LM3 sebagai Pusat Pelatihan Pertanian dan Pemberdayaan Masyarakat (agent of development).

Tujuan pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3 secara khusus adalah Mendorong tumbuhnya LM3 sebagai embrio pembentukan inti kawasan agribisnis, Mengembangkan usaha agribisnis dan agroindustri di sekitar lokasi LM3, Mengembangkan kemitraan dan jaringan kerjasama agribisnis terpadu, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar LM3.

Adapun sasaran pemberdayaan dan pengembangan usaha agribisnis LM3 secara umum adalah: Menguatnya modal usaha LM3 dalam mengembangkan usaha agribisnis; Meningkatnya kemampuan dan kapasitas sumber daya manusia serta kelembagaan usaha agribisnis LM3; Meningkatnya produksi, produktivitas usaha, mutu, daya saing, nilai tambah dan pendapatan LM3 serta masyarakat sekitarnya di bidang agribisnis; Berkembangnya usaha agribisnis termasuk diversifikasi usaha dan agroindustri di LM3 serta masyarakat sekitarnya; Meningkatnya pengetahuan dan keterampilan para santri/anggota LM3 di bidang agribisnis; dan Meningkatnya kemandirian dan jaringan kerjasama LM3 dengan para stakeholder agribisnis.


Titik Kritis Menuju Keberhasilan

Dari pengalaman selama ini (penulis terlibat sejak 1991) beberapa titik kritis yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan agribisnis di/melalui LM3 adalah:

Pertama pemilihan LM3. Kriteria dan proses pemilihan atau penentuan LM3 yang memperoleh bantuan sangat menentukan keberhasilan program yang akan dilaksanakan. Salah satunya, sebagai contoh, tidak semua LM3 mempunyai visi yang terkait dengan agribisnis, baik sebagai kegiatan penunjang maupun sebagai salah satu misinya. LM3 yang demikian umumnya cenderung hanya memanfaatkan peluang bantuan. Untuk yang demikian, diragukan akan keberhasilannya. Apalagi kalau diharapkan LM3 dapat menjadi agent of development agribisnis bagi masyarakat di sekitarnya, masalah visi dan misi ini perlu betul-betul dicermati.

Kedua, penetapan sasaran pembinaan. Perlu ditetapkan sasaran/target yang jelas dan dapat diukur untuk masing-masing LM3 yang memperoleh bantuan, baik untuk sasaran jangka pendek (1 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka panjang (lebih 10 tahun). Pengurus LM3 yang bersangkutan hendaknya menentukan strategi dan langkah-langkah kongkret dan realistis untuk mencapai sasaran tersebut.

Ketiga, pembinaan teknis dan manajemen. Umumnya LM3 yang diberi bantuan belum cukup pengalaman melaksanakan agribisnis dan tidak mempunyai unit khusus untuk itu. Maka, pembinaan teknis dan manajemen agribisnis sangat perlu disertakan dalam paket bantuan kepada LM3, dan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh melalui pendampingan yang intensif oleh tenaga yang kompeten. Pembinaan/bimbingan tidak cukup hanya pada aspek-aspek teknis dan manajemen produksi tetapi juga harus mencakup pasca panen hingga pemasaran dan pengembangan usaha secara keseluruhan, termasuk akses terhadap sumber-sumber permodalan.

Keempat, pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi LM3 yang memperoleh bantuan perlu dilakukan secara terus menerus dan berkala sampai jangka waktu yang ditetapkan untuk pencapaian sasaran. Hal ini dimaksudkan agar arah pembinaan dan pengembangan kegiatan yang dilakukan tetap konsisten terhadap sasaran yang disepakati dan menentukan tindakan koreksi jika diperlukan.

Kelima, apresiasi. Pemberian apresiasi cukup efektif dalam memotivasi setiap pelaku usaha/kegiatan untuk mempunyai kinerja yang terbaik. Penilaian dan pemberian apresiasi dapat dilakukan secara berkala setiap 2-3 tahun sekali terhadap LM3 yang berprestasi dalam pengembangan agribisnis. Untuk itu mungkin dapat dibedakan 3 kategori keberhasilan yaitu pengembangan agribisnis di LM3, pengembangan agribisnis di masyarakat dan agribisnis di LM3 dan masyarakat.

Dalam pada itu, mengingat pengembangan agribisnis pada/melalui LM3 mencakup berbagai komoditi dan meliputi kegiatan-kegiatan mulai dari hulu (on farm) sampai hilir (off farm), maka perlu difikirkan adanya suatu sistem pengelolaan di bawah satu atap, atau paling tidak perlu adanya Tim Koordinasi yang ditunjang oleh suatu sekretariat yang memadai.

Reposting by: Manajemen, Program & R/D LM3 Nafiri Manado, Sulawesi Utara.

Sumber>[Jamil Musanif, ags2006 > http://agribisnis.deptan.go.id]

LM3 MODEL GMIM NAFIRI MANADO Headline Animator